RESOURCESCESASIA.ID, JAKARTA – Visi Presiden Prabowo Subianto mencapai nol bersih pada 2050 dengan menghentikan seluruh pembangkit listrik berbahan bakar fosil dan membangun 75 gigawatt (GW) energi terbarukan, dinilai kurang ambisius. Pasalnya, tambahan 75 GW tersebut belum cukup untuk menutup selisih dari rencana penghentian pembangkit listrik bahan bakar fosil.
Katherine Hasan, Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), menuturkan, sebanyak 62% pasokan listrik Indonesia, baik yang tersambung dengan jaringan PLN (on grid) maupun berdiri sendiri (off grid), berasal dari batu bara. Karenanya, rencana penghentian penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil pada 2040 merupakan terobosan besar.
Untuk itu, Indonesia seharusnya menetapkan target penerapan energi ramah lingkungan yang lebih ambisius. “Target tambahan 75 GW energi terbarukan dan 5 GW nuklir pada 2040 yang diumumkan baru-baru ini hanya akan menghasilkan listrik bebas fosil sekitar 35% dari proyeksi kebutuhan listrik nasional. Ini berarti targetnya harus ditingkatkan lebih dari dua kali lipat agar visi Presiden Prabowo dapat menjadi kenyataan,” kata Katherine.
Target penambahan energi terbarukan di Indonesia setidaknya harus sebesar yang tercantum dalam dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP), yang membidik tambahan 210 GW pembangkit listrik non-fosil pada 2040, dan mencapai 80% pangsa energi terbarukan pada periode yang sama. Meskipun, jika Presiden Prabowo serius ingin mematikan seluruh pembangkit listrik berbasis energi fosil, penambahan energi terbarukan harus lebih besar lagi.
“Tambahan kapasitas energi terbarukan yang dibutuhkan sekitar 25% lebih banyak dari JETP di 2040, kalau semua PLTU dan pembangkit berbahan bakar fosil di-phase out,” tambah Katherine.
Hal ini penting lantaran mempertimbangkan proyeksi pertumbuhan permintaan listrik, penerapan target 75 GW juga berarti masih memberi ruang penambahan pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil. Perkiraan CREA, jika penambahan kapasitas energi terbarukan hanya 75 GW, penambahan pembangkit listrik bertenaga fosil akan meningkat hingga 160% dari 2022 hingga 2040.
Lauri Myllyvirta, Analis Utama CREA, menekankan, rencana yang disampaikan Presiden Prabowo harus diselaraskan dengan peta jalan investasi pembangkit listrik yang tertera dalam dokumen CIPP JETP. “Kami juga meminta agar pemerintah terus berupaya menghilangkan hambatan yang selama ini menghambat lepas landasnya sumber daya energi bersih berbiaya rendah di Indonesia, untuk memastikan bahwa tujuan yang ditetapkan dalam rencana tersebut sepenuhnya terwujud dalam jangka waktu yang diusulkan,” tutur Lauri.
Penyesuaian target energi terbarukan agar selaras dengan visi penghapusan bahan bakar fosil pada 2040 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk menarik investasi. “Di luar investasi sebesar US$ 235 miliar yang direncanakan oleh PLN untuk penambahan kapasitas sebesar 100 GW, peningkatan ambisi untuk memenuhi target energi bersih JETP CIPP akan menghasilkan investasi hampir US$ 200 miliar dari tambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 130 GW,” jelas Katherine.
Tak hanya itu, penghentian PLTU batu bara secara bertahap akan membawa manfaat kesehatan yang besar. Saat ini, PLTU bertanggung jawab atas 10.500 kematian tahunan dan beban ekonomi sebesar US$ 7,4 miliar di Indonesia. Visi Presiden Prabowo akan sejalan dengan target 1,5 derajat Perjanjian Paris – yaitu menghindari total kumulatif 182 ribu kematian terkait polusi udara dan biaya kesehatan sebesar US$ 130 miliar, mulai 2024 hingga akhir masa pakai semua pembangkit listrik.
“Visi Presiden Prabowo untuk penghentian penggunaan energi fosil pada tahun 2040 dapat menjadi titik balik bagi Indonesia. Namun, untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan kepemimpinan yang kuat serta dukungan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat, khususnya investor, untuk melihat potensi dari rencana tersebut dan memanfaatkan peluang ekonomi yang sangat besar yang ada,” tegas Katherine. (RA)
Foto: Dok PLN