RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto meminta pemerintah untuk mereaktivasi kegiatan pertambangan nikel Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Saya mendesak pihak terkait agar dapat membuka kembali izin tambang ini,” ujar Mulyanto dalam siaran resmi parlemen, dikutip Minggu (28/1/2024).
Mulyanto mengatakan, desakan tersebut dilakukan lantaran penutupan blok tambang milik PT Antam Tbk imbas kasus korupsi tersebut telah merugikan perekonomian masyarakat setempat.
“Pemerintah harus memikirkan nasib masyarakat yang mengalami kesulitan akibat kebijakan penutupan tambang ini. Pemerintah perlu mendengar keluhan masyarakat yang terdampak agar bisa menghindari masalah yang lebih besar,” kata dia.
Oleh sebab itu, Mulyanto pun mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera menyelesaikan proses hukum yang hingga kini masih terus berjalan itu.
BACA JUGA :
Perusahaan Tambang Harus Serius Implementasikan ESG
“Jangan berlama-lama, sehingga merugikan perekonomian masyarakat. Saya juga mendapat info, adanya perusahaan smelter yang mengimpor nikel ore dari negara tetangga karena penutupan sementara blok ini.”
Adapun dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus bahwa terdapat praktik korupsi pertambangan ilegal di wilayah Blok Mandiodo itu. Praktik itu dinilai merugikan negara hingga Rp5,7 triliun.
Kejagung juga telah menetapkan pejabat negara mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin sebagai tersangka.
Selain Ridwan, ada dua pegawai Kementerian ESDM yang juga telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka. Mereka yaitu SM sebagai Kepala Badan Geologi dan mantan Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba.
Kemudian, ada juga pihak swasta yang turut dijerat menjadi tersangka. Mereka adalah pengusaha Windu Aji Santoso, HW selaku General Manager PT Antam UPBN Konawe Utara, GAS selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining (LAM), AA selaku Direktur PT Kabaena Kromit Pratama, dan OS selaku Direktur PT LAM.
Dalam kasus ini, para tersangka diduga terlibat dalam proses penerbitan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) Tahun 2022.
Kejaksaan menilai, penerbitan RKAB dilakukan tanpa melakukan evaluasi dan verifikasi sesuai ketentuan, padahal perusahaan tersebut tidak mempunyai deposit atau cadangan nikel di Wilayah Izin Usaha Pertambangan tersebut.
Kemudian, penyidik menduga dokumen RKAB tersebut dijual kepada PT Lawu Agung Mining yang melakukan penambangan di wilayah IUP PT Antam.
Dengan kata lain, nikel yang dihasilkan PT Lawu seolah berasal dari PT Kabaena Kromit Pratama dan beberapa perusahaan lain di sekitar Blok Mandiodo.
Hal ini menyebabkan kekayaan negara berupa bijih nikel milik negara melalui PT Antam justru dikeruk dan dijual PT Lawu Agung Mining, PT Kabaena Kromit Pratama, dan beberapa pihak lain.
Sementara itu, Ombudsman Republik Indonesia juga menilai bahwa penutupan areal tambang blok tersebut turut membuat kesulitan ekonomi warga sekitar.
BACA JUGA :
Grup MIND ID Komitmen Lakukan Revegetasi Lahan Pasca Tambang
Penilaian itu didapatkan berdasarkan hasil pantauan Ombudsman sejak September tahun lalu. Anggota Ombudsman Hery Susanto mengatakan, sebelum adanya penutupan tambang itu, perputaran ekonomi masyarakat sekitar masih cukup stabil.
Hery mengatakan, temuan menyusul keterangan perwakilan masyarakat desa yang berada di sekitar kawasan tambang tersebut, yang mengklaim jumlah pengangguran warga setempat meningkat.
Mayoritas penghasilan warga di sana diklaim sangat bergantung pada pekerjaan di kawasan pertambangan itu, setelah sebagian besar mata pencaharian mereka sebagai petani dan nelayan telah habis diubah menjadi lahan tambang nikel.
“Sudah mengalami perubahan ekosistem lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan,” ujar Hery dalam konferensi pers belum lama ini.
Atas hal tersebut, kata Hery, masyarakat setempat berharap operasional tambang di Blok Mandiodo itu dapat berjalan kembali seperti semula.
Pihaknya juga meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk kembali mengaktifkan operasional tambang tersebut.
Namun, Hery menggarisbawahi reaktivasi itu mesti dilakukan evaluasi perbaikan tata kelola pertambangan berdasarkan prinsip pelayanan publik dan ketentuan yang berlaku.
“Begitu juga dalam proses penegakan hukum yang sedang berlangsung.” (RJ)
Foto : Dok Ist