RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Para pemimpin negara G20 sepakat meningkatkan kapasitas energi terbarukan global hingga tiga kali lipat pada 2030, sebagaimana diungkapkan dalam Deklarasi Pertemuan Pemimpin G20 di India. Namun, sejumlah pakar menilai, kesepakatan tersebut masih kurang ambisius untuk mencegah pemanasan global di bawah 1,5 derajat celcius.
Presidensi G20 India menghasilkan sejumlah kesepakatan. Beberapa di antaranya yakni, kesepakatan untuk meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat, memfasilitasi pendanaan rendah biaya untuk mendorong teknologi bersih dan berkelanjutan, serta mengurangi penggunaan PLTU batu bara sesuai kondisi masing-masing negara.
Andreas Sieber, Associate Director of Policy and Campaigns 350.org, menilai kesepakatan tersebut merupakan langkah bersejarah dalam perang melawan krisis iklim. Langkah ini membuka peluang bagi dunia untuk kembali ke jalur yang membatasi pemanasan global tidak melebihi 1,5 derajat celcius.
Namun menurutnya, kesepakatan ini saja tidak cukup. Negara-negara G20 harus didesak untuk secara bertahap mengakhiri ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, negara-negara kaya harus menanggung beban tanggung jawab dan menyediakan pendanaan untuk mencapai komitmen peningkatan energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030.
“G20 seharusnya menunjukkan jalan menuju masa depan tanpa bahan bakar fosil. Meski mengakui kesimpulan IPCC terkait pengurangan emisi 43% pada 2030, G20 benar-benar gagal menyebutkan apapun terkait pengakhiran fosil, bahkan batu bara. Ini sinyal buruk bagi dunia, terutama untuk negara dan populasi termiskin dan paling rentan,” kata Sieber.
Hal senada diungkapkan Madhura Joshi, India Energy Transitions Lead E3G. “Upaya G20 sebelumnya untuk mengakhiri batu bara hanya mempertahankan status quo. Peningkatan energi terbarukan perlu didukung pengurangan bahan bakar fosil, keduanya diperlukan untuk transisi berkeadilan dan dunia netral karbon. Pembicaraan mengenai teknologi pengurangan emisi yang mahal dan belum terbukti, seharusnya tidak jadi alasan menunda aksi iklim. Semua mata kini memperhatikan COP28, bisa kah pemimpin dunia menghasilkan hal ini.”
Shruti Sharma, Senior Policy Advisor International Institute for Sustainable Development (IISD), menambahkan, deklarasi G20 mengakui pentingnya mengatasi subsidi bahan bakar fosil. Namun, tidak ada kemajuan sejak Deklarasi Bali. Selama 15 tahun, pemimpin G20 terus mengulang komitmen untuk reformasi subsidi fosil, tetapi gagal menghasilkan kemajuan terkait transparansi, jadwal, dan mengurangi subsidi. Pada 2022, anggaran publik untuk fosil negara G20 mencapai rekor US$ 1,4 triliun, menggarisbawahi masih besarnya sumber pendanaan yang dialokasikan ke sektor ini.
“Ketiadaan batas waktu yang jelas untuk mengakhiri subsidi bahan bakar fosil—seperti negara maju pada 2025 dan negara berkembang pada 2030—mengurangi akuntabilitas G20 mewujudkan komitmennya untuk mengakhiri dukungan ini pada 2009,” kata Sharma.
Sementara itu, Vibhuti Garg, Direktur Asia Selatan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menuntut aksi nyata dari kesepakatan G20.
“Meskipun kesepakatan tersebut menyatakan perlu meningkatkan energi terbarukan hingga tiga kali lipat dan akses ke pendanaan rendah biaya di mana kebutuhannya diperkirakan US$ 4 triliun setiap tahun, kesepakatan itu hanya sebatas memfasilitasi dan bukan berkomitmen pada target tersebut. Walau kemajuannya cukup bagus, komitmen pada target energi terbarukan dan alokasi pendanaan bagi energi dan negara berkembang akan memperkuat komitmen negara-negara di dunia terkait isu krisis iklim.” (Rama)
Foto: ilustrasi dok PLN Nusantara Power