RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – PT Sky Energy Indonesia Tbk berkomitmen mendukung target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dicanangkan pemerintah sebesar 23 persen pada 2025 melalui ekspansi pabrik kedua di Cisalak,Depok, Jawa Barat dengan tambahan kapasitas 100 MW.
Christoper Liawan, CEO Sky Energy, mengatakan tidak berhenti di solar panel teringan saja, Sky Energy akan terus mengembangkan produk inovatif, solusi efektif lainnya sehingga masyarakat indonesia tidak perlu ragu dalam menggunakan solar panel.
“Rencana ke depan adalah mendukung KTT G20 untuk PLTS atap hotel dan gedung pemerintahan di Bali. Serta pembangunan manufaktur panel surya berkapasitas 100 MW untuk local market Bali dengan brand Bali Sky Energy,” kata Christoper pada webinar Solusi Kebersamaan Energy and Mining Editor Society (SUKSE2S) dengan tema: “PLTS Atap untuk Industri, Siapa yang Untung? yang digelar Rabu (23/3).
Selain Christoper, hadir sebagai pembicara dalam webinar Munief Budiman, Executive Vice President Pelayanan Pelanggan Retail PLN; Danif Danusaputra, Direktur Utama PT Pertamina New Renewable Energy; Linus Andor Maulana, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI) dan Karyanto Wibowo, Direktur Sustainable Development Danone Indonesia.
Menurut Christoper, PLTS merupakan salah satu jenis pembangkit EBT dengan potensi terbesar yaitu 207,8 GW. Namun masih ada kendala dalam pengembangan PLTS, khususnya PLTS atap.
Berdasarkan hasil kajian, 92 persen masyarakat masih memiliki keraguan untuk menggunakan PLTS atap. Kurang pemahaman terhadap teknologi PLTS atap, masih menganggap harganya mahal, dan belum mendapatkan jawaban yang tepat terkait produk dan manfaat penghematan listrik dari PLTS atap.
“Selain itu infrastruktur bangunan di Indonesia masih belum mampu mendukung penggunaan solar panel atap konvensional yang terlalu berat,” kata dia.
Danif Danusaputro, Direktur Utama Pertamina NRE, mengatakan PLTS yang sudah dipasang Pertamina NRE kebanyakan berada di lingkungan Pertamina.“200 MW target terpasang tahun ini. kebanyakan adalah rooftop,” kata Danif.
Dia menambahkan dari sisi benefit, seharusnya ini sesuatu yang mudah untuk dijual, terutama untuk sister company Pertamina NRE.
“Key challenge dari sisi affordability, grid connectivity, regulatory barriers, dan access to financing. Regulatory barrier, menurut saya Indonesia masih single buyer, menjadi challengen untuk pemain di renewable,” kata Danif.
Sementara itu, PT PLN (Persero) memproyeksikan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mengalami peningkatan besar-besaran mulai 2028 dikarenakan kemajuan teknologi baterai yang semakin murah. Setelah itu, kenaikan secara eksponensial akan mulai terjadi pada 2040.
Menurut Munief Budiman, pada 2045 porsi EBT sudah mendominasi total pembangkit. “Dekade berikutnya seluruh pembangkit listirk di Indonesia berasal dari EBT,” ujar Munief.
Munief mengatakan PLN berkomitmen mendukung pemerintah untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 yang ditunjukkan pada pilar transformasi green PLN. Transformasi PLN untuk pilar green dengan berupaya memimpin transisi energi Indonesia melalui peningkatan EBT secara pesat dan efisien.
“Green breakthrough kami adalah implementasi RJPP 2019-2024, launch green booster 3,5 GW, dan launch large scale reneable energy,” kata Munief
Linus Andor Maulana, Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), mengatakan faktor negative cycle menjadi penyebab tidak berkembangnya industri solar PV di Indonesia. Negative cyle yang terjadi akibat ada limited capacity sehingga low economic scale tidak tercapai. Lalu low demand dan low new investment. Serta, high cost dan price low feasibility.
“Kalau industri ini mau ditumbuhkan di hulunya, ada peluang bisnis, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kemampuan nasional,” kata Linus.
Menurut Linus, di Indonesia banyak tambang kuarsit untuk dikembangkan. Namun untuk itu perlu investasi yang cukup besar. Untuk penambangan dan pengolahan konsentrat kuarsit dan dikembangkan menjadi kuarsa murni diperlukan investasi US$160 juta.
Reduksi dan pemurnian dari kuarsa murni ke metalurgical grade investasinya US$455 juta. “Dan untuk menjadi produk elektronika dan chemical, solar cell dibutuhkan investasi US$250 juta,” kata dia.(RA)
FOTO: DOK E2S