RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Suzuki, Great Wall Motor, dan Toyota berada di posisi terendah dalam upaya memangkas emisi dari sektor otomotif. Mengacu International Energy Agency (IEA), industri otomotif harus sepenuhnya beralih dari kendaraan bermesin pembakaran (internal combustion engine/ICE) guna mencapai netral karbon pada 2050.
Peringkat produsen-produsen kendaraan bermotor tersebut mengacu pada Greenpeace Auto Ranking 2023. Greenpeace Asia Timur mengevaluasi 15 produsen kendaraan bermotor tradisional di dunia terkait upaya transisi dari mesin ICE, dekarbonisasi rantai pasok, dan pengurangan sumber daya dan sirkularitas.
Sebagai produsen kendaraan bermotor terbesar di dunia, Toyota secara global hanya menjual 400 kendaraan listrik berbasis baterai tahun lalu dan Suzuki tidak menjual satu pun kendaraan listrik. Di sisi lain, meski porsi penjualan kendaraan nol emisinya cukup tinggi, Great Wall Motor memperoleh poin rendah dalam hal dekarbonisasi rantai pasok.
“Sayangnya, raksasa produsen kendaraan bermotor seperti Toyota, Volkswagen, dan Hyundai, memangkas emisi tidak secepat yang dipercaya masyarakat. Meski penjualan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) tumbuh cepat, 94% mobil yang dijual tahun lalu oleh produsen otomotif terbesar dunia, masih berbahan bakar fosil. Pemimpin industri seperti Toyota dan Hyundai, justru membanjiri jalanan dengan kendaraan bermesin ICE dan SUV yang terus bertambah. Produsen otomotif perlu mempercepat transisi dari bahan bakar fosil, daripada terus menyuarakan porsi penjualan EV yang kecil,” kata Ada Kong, Deputi Direktur Program Greenpeace Asia Timur.
Pada 2022, Hyundai-Kia mencatatkan penjualan SUV yang mencapai lebih dari 50% untuk pertama kalinya. Lantaran pemanfaat baja yang cukup tinggi dan efisiensi bahan bakar yang rendah, mobil SUV memiliki jejak karbon yang lebih besar dibandingkan mobil ukuran kecil.
BACA JUGA : Dorong Green Strategy, PHE Gencar Upayakan Dekarbonisasi
Sementara itu, Mercedes-Benz dan BMW memperoleh nilai tertinggi. Meskipun mereka menjual kendaraan ICE lebih banyak, yang tidak sesuai dengan upaya membatasi kenaikan suhu rata-rata global maksimal 1,5˚C.
Shanghai Automotive Industry Corporation (SAIC), produsen otomotif terbesar di China, mencatatkan penjualan kendaraan listrik tertinggi. Tahun lalu, tiga dari 10 kendaraan yang dijual SAIC adalah kendaraan listrik. Namun, perusahaan itu berada di urutan ketiga lantaran laju dekarbonisasi yang lamban pada rantai pasoknya.
Secara umum, produsen otomotif tradisional hanya menjual kendaraan listrik dalam jumlah kecil di luar China dan Eropa. SAIC merupakan satu-satunya produsen dengan penjualan kendaraan nol emisi yang cukup signifikan di India, Thailand, dan Indonesia. Produsen otomotif terus menjual kendaraan ICE dalam jumlah besar di negara-negara berkembang, yang tidak konsisten dengan komitmen iklim mereka.
Produsen otomotif juga mengabaikan peran penting rantai pasok dan bahan baku dalam dekarbonisasi. Industri otomotif kurang memperhatikan emisi yang dihasilkan dari rantai pasok, bahan baku, dan proses produksi, seperti konsumsi energi pabrik manufaktur dan emisi hulu dari pengadaan baja.
Greenpeace mendesak produsen otomotif untuk mengadopsi strategi transisi kendaraan nol emisi yang lebih ambisius pada operasinya di seluruh dunia. Produsen otomotif harus menghentikan penjualan kendaraan bermesin pembakaran pada 2028 di Eropa, dan sebelum 2030 di Amerika Serikat, China, Korea, dan Jepang. Transisi ke kendaraan listrik ini harus dijalankan beriringan dengan investasi daur ulang baterai, dekarbonisasi rantai pasok baja, dan transisi berkeadilan bagi pekerja industri otomotif.
“Produsen otomotif tradisional perlu mempercepat adopsi kendaraan listrik secara dramatis. Merek seperti Toyota dan Hyundai menghadapi ancaman pasar yang sangat nyata dari produsen kendaraan listrik seperti Tesla dan BYD, tetapi mereka justru enggan berubah di hadapan teknologi yang terus berevolusi,” kata Kong. (Rama)
Foto : Dok Pertamina/ilustrasi