RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Pemerintah kembali mendorong skema power wheeling masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Skema ini diwacanakan akan tercantum dalam ketentuan pemenuhan pasokan EBET Pasal 29A dan 47A, berbentuk rumusan kerja sama pemanfaatan jaringan (open access).
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung masuknya power wheeling dalam RUU EBET. Skema ini diyakini bakal menciptakan peluang pengembangan sumber dan pemanfaatan energi terbarukan yang lebih luas untuk mendukung transisi energi menuju net-zero emission (NZE) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
“Skema power wheeling adalah penggunaan bersama jaringan listrik. Dalam skema ini, produsen tenaga listrik dapat menyalurkan listrik langsung kepada pengguna akhir menggunakan jaringan transmisi dan distribusi yang dimiliki pemegang izin,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, Senin (20/5).
Menurut Fabby, keberadaan power wheeling akan berdampak pada semakin banyaknya pasokan dan permintaan energi terbarukan, khususnya untuk solusi elektrifikasi industri, sehingga bakalan memicu peningkatan investasi. Pada akhirnya, power wheeling juga akan meningkatkan akses bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk menggunakan energi terbarukan.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa ketergantungan pada permintaan (demand) dan proses pengadaan (procurement) dari PLN menjadi salah satu faktor yang menyulitkan pengembangan energi terbarukan di Indonesia secara cepat. Posisi PLN sebagai single offtaker (pembeli atau penyedia energi tunggal), menyebabkan pengembangan sumber daya energi terbarukan tidak optimal.
BACA JUGA:
Terkait Transisi Energi, IESR Usul Jenis Pembiayaan Bersifat Hibah dan Pinjaman Lunak
“Skema power wheeling akan mendorong keterlibatan produsen listrik baik BUMN lain dan swasta dalam pengembangan energi terbarukan sehingga dapat menambah bauran energi terbarukan Indonesia lebih cepat,” ungkap Fabby.
Dia menilai kekhawatiran yang menganggap power wheeling sebagai bentuk privatisasi kelistrikan tidak tepat. Jaringan transmisi itu tidak dijual ke pihak swasta dan masih dalam kepemilikan PLN sebagai BUMN. Justru skema ini dapat mengoptimalkan utilisasi aset jaringan transmisi PLN sehingga menambah penerimaan PLN dari biaya sewa jaringan, yang bisa dipakai untuk memperkuat investasi PLN di jaringan.
Pelaksanaannya
IESR menyoroti beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan power wheeling. Pertama, skema power wheeling ini harus menjadi mekanisme yang mempromosikan energi terbarukan. Oleh karenanya secara spesifik harus disebutkan dalam RUU sebagai power wheeling energi terbarukan (renewable power wheeling).
Kedua, penerapan power wheeling tidak mengorbankan keandalan pasokan listrik. Ketiga, power wheeling perlu diatur sehingga tidak merugikan pemilik jaringan. Untuk itu, tarif penggunaan jaringan listrik bersama (wheeling charge) harus mencerminkan biaya yang diperlukan untuk mempertahankan dan meningkatkan keandalan sistem, biaya layanan (ancillary services), serta menutupi biaya investasi untuk penguatan jaringan.
Keempat, pemerintah atau regulator yang menetapkan formula tarif penggunaan jaringan listrik bersama. Dan kelima, untuk memperjelas implementasi maka diperlukan pembuatan aturan turunan mengenai power wheeling yang lebih rinci.
“RUU EBET dapat mengamanatkan aturan power wheeling yang lebih rinci dan teknis di instrumen peraturan pelaksanaan UU dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan peraturan teknis dan detailnya akan diatur melalui peraturan menteri ESDM,” jelas Fabby.
Dia juga mengungkapkan bahwa penerapan power wheeling dapat menciptakan pasar energi terbarukan dan berdampak positif bagi investasi industri di Indonesia. Saat ini, industri mempunyai kepentingan untuk membangun industri yang berkelanjutan. Banyak asosiasi industri mendesak hal serupa, salah satunya industri-industri yang bergabung dalam RE100, yang memiliki target penggunaan energi terbarukan sebelum tahun 2030.
“Adanya skema power wheeling, akan memudahkan industri untuk memperoleh listrik dari sumber energi terbarukan sehingga dapat mengurangi jejak karbon industrinya, mencapai target keberlanjutannya, dan memberikan citra industri hijau yang baik bagi pelanggannya. Ini positif bagi peningkatan iklim investasi di Indonesia,” jelas Fabby.
IESR berharap agar DPR dan pemerintah mempertimbangkan kepentingan dan manfaat nasional yang lebih luas dalam penetapan klausa power wheeling di RUU EBET.