(Resourcesasia.id), Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan telah menegaskan agar PT Freeport Indonesia (PTFI) patuh pada aturan main di Indonesia termasuk ketentuan divestasi hingga 51 persen dan keharusan membangun smelter.
Dalam pernyataannya yang diterima redaksi Resourcesasia.id, Sabtu (18/2), Jonan mengimbau agar PTFI tidak menggunakan rencana gugatan hukum dan ancaman pemecatan pegawai sebagai cara untuk menekan pemerintah karena hanya akan menyebabkan rasa saling tidak percaya.
Jonan mengingatkan semua perusahaan tambang mineral pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009).
Pemegang Kontrak Karya (KK) yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka status Kontrak Karya diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku,” tegas Jonan.
Berikut pernyataan lengkap MESDM Ignatius Jonan:
Pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali.
Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerintah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.
Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah TETAP Menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku.
Atas dasar itu semua pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan TIDAK wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu 5 tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009).
Dengan fakta bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) belum melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK. Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu 5 tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu 5 tahun. Progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap 6 bulan. Jika progres tidak mencapai minimal 90% dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut.
Fakta yang terjadi saat ini adalah:
1-PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) telah menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian Kontrak Karya menjadi IUPK.
PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter.
Atas dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor No 353/30/DJB/2017 pada Jumat 17 Februari 2017.
2-PT Freeport Indonesia (PTFI) menolak perubahan dari KK menjadi IUPK.
Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, Pemerintah telah memberikan hak yg sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan.
Sesuai Pasal 169 UU No 4/2009, stabilitas investasi memungkinkan untuk didapatkan.
Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku.
PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter.
Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.
Menurut informasi yang beredar PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut.
Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM.
Saya berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51% yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No 1/2017.
Memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30% karena alasan pertambangan bawah tanah.
Namun divestasi 51% adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai PEMILIK tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia.
Terkait wacana PTFI membawa persoalan ini ke arbitrase, itu adalah langkah hukum yang menjadi hak siapa pun. Namun Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah.
Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata. (Rama)
Foto: Ist