RESOURCESASIA.ID – Jakarta, Setelah diterbitkannya Perpres 40/2016 yang mengatur penetapan harga gas bumi, pada awal bulan April 2020 ini akan diterapkan. Perpres tersebut mengatur secara definitif tujuh jenis industri pengguna gas yang akan dikenai penetapan harga. Diantara tujuh jenis industri tersebut, pengguna gas untuk produksi listrik tidak termasuk didalamnya.
Namun demikian, saat ini beredar wacana dimana Kementrian ESDM sedang mempertimbangkan untuk menambah daftar pengguna gas yang akan diatur dalam penetapan harga ini. Industri pengguna gas untuk listrik, khususnya PLN, akan ditambahkan ke dalam daftar perusahaan yang akan mendapatkan insentif penetapan harga gas ketika harga gas melebihi US$ 6/MMBTU.
Menanggapi hal ini, Mukhtasor, Pengamat Energi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya menyatakan, “Jika hal itu akan dilakukan ESDM, tolong dikoreksi. Pak Menteri, mohon jangan offside.”
Mukhtasor, yang pernah menjabat sebagai Anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014) ini menjelaskan alasan koreksi tersebut ada dua hal penting.
Dalam hal ini Mukhtasor menjelaskan, “Alasan Pertama, ketika Menteri ESDM menerapkan Perpres 40/2016, keputusan yang akan dibuatnya haruslah sesuai dengan isi dan konteks Perpres tersebut diundangkan. Pasal 4 Perpres ini mengatur secara definitif dan eksplisit, ada tujuh jenis pengguna gas yang dikenai penetapan harga, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet. Adapun industri pengguna gas untuk listrik tidak termasuk di dalam ketentuan ini. Sepatutnya, jika nanti kondisi perekonomian mulai pulih dari dampak pandemi Covid 19 dan Perpres dilaksanakan, hendaknya dilaksanakan secara bertahap terhadap tujuh jenis industri yang sudah definitif ini. Ini dulu, sambil dievaluasi apakah tujuan diterbitkannya Perpres ini dapat tercapai atau tidak, yaitu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri. Evaluasilah dulu, sebelum terlalu jauh memperberat pengurangan hasil pendapatan negara dari produksi gas bumi.”
Selanjutnya Mukhtasor menambahkan, “Perpres tersebut memang menyediakan pintu untuk perubahan pengguna gas yang dapat dikenakan penetapan harga. Namun itu sifatnya pilihan dan itu pun ada persyaratannya. Kementrian ESDM tidak boleh menambahkan suatu industri yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai Perpres ini. Hal ini karena akan berdampak besar bagi keuangan negara, iklim investasi migas dan tidak sesuai dengan arah Kebijakan Energi Nasional, khususnya dalam pengembangan dan pemanfaatan gas bumi.”
Sebagaimana disebutkan dalam Perpres ini, ada dua persyaratan agar suatu industri dapat diberikan penurunan harga gas. Pertama, jenis industri tersebut tidak bisa memenuhi keekonomian dengan harga gas yang melebihi US$ 6/MMBTU.
Mukhtasor menekankan, “Kementrian ESDM belum memberikan penjelasan yang transparan dan memadai mengenai keekonomian produksi listrik berbahan bakar gas atau PLTG. Padahal kita tahu, umumnya PLTG itu relatif murah. Hal ini benar terutama kalau PLTG dibangun sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014, yaitu pengembangan energi dengan mengutamakan sumber daya energi setempat.”
Disamping soal keekonomian industri pengguna gas, menurut Mukhtasor, penetapan harga gas dalam Perpres tersebut mempertimbangkan nilai tambah dari pemanfaatan gas di dalam negeri.
“Hasil perhitungan saya, berdasar data dari American Petroleum Institute, nilai tambah ekonomi gas untuk pembangkit listrik itu kurang dari 50% dibanding nilai tambah ekomomi jika gas digunakan untuk industri pertrokimia dan sebagainya. Bahkan penggunaan untuk komersial dan domestik masih bernilai tambah ekonomi nasional lebih tinggi. Apalagi masih ada alternatif lain sumber energi listrik selain gas, misalnya panas bumi, air dan lainnya.”, demikian Mukhtasor menjelaskan.
Persyaratan kedua diatur dalam pasal 4 Perpres tersebut, bahwa untuk perubahan atau penambahan pengguna gas selain tujuh yang sudah disebut eksplisit diatas, Menteri ESDM harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
“Ini artinya, industri pengguna gas yang dikenai penetapan harga adalah industri yang berasal dari sektor yang diurus oleh Kementrian Perindustrian. Oleh karena itu perlu koordinasi dengan Menteri Perindustrian. Pertanyaannya, apakah pelaku produsen listrik, seperti PLN, adalah termasuk sektor yang diurus oleh Kementrian Perindustrian? Janganlah misalnya karena terlalu bermurah hati kemudian Pak Menteri lalu kebablasan, ” pungkas Mukhtasor
Sebagaimana diketahui, wacana masuknya PLN sebagai pengguna gas untuk produksi listrik menjadi isu yang kontroversial dalam beberapa pekan terakhir. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Erick Thohir diberitakan belum bersepakat mengenai hal ini. (rj)