Resourcesasia.id, Jakarta – Berkurangnya nilai investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) yang terjadi dalam dua tahun terakhir mendorong industri melakukan efisiensi. Perusahaan harus mengurangi kegiatan eksplorasi dan produksi migas yang akibatnya memangkas jumlah tenaga kerjanya.
Tenny Wibowo, IPA Board Director, mengatakan ini merupakan pilihan sulit yang dilakukan perusahaan. Dalam situasi seperti saat ini, perusahaan dihadapkan dengan pilihan antara menghentikan operasi sementara atau mengurangi sebagian tenaga kerjanya. “Padahal sekitar 95-98 persen tenaga kerja di sektor migas merupakan tenaga kerja lokal,” kata dia saat menjadi pembicara dalam Special Session bertajuk “Investing in Indonesians: Impact of the Current Landscape”, Jumat (19/5).
Berkurangnya jumlah tenaga kerja di sektor migas ini bisa berdampak panjang, terutama dalam penyediaan tenaga ahli di bidang ini di masa depan. Ketika aktivitas bisnis kembali naik, maka industri akan kehilangan ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas. Ini disebabkan banyak tenaga kerja yang beralih profesi ke bidang-bidang di luar sektor migas.
Tutuka Ariadji, Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan (IATMI), mengakui banyak tenaga profesional di sektor migas yang beralih profesi seiring berkurangnya kegiatan investasi. Banyak di antara mereka yang kini bekerja di sektor lain, seperti perbankan, asuransi, atau lembaga profesi yang tidak digaji.
“Karyawan yang berhenti angkanya berbeda-beda di setiap perusahaan, ada yang 10 persen atau lebih dari itu,” kata Tutuka.
Situasi ini, lanjut Tutuka, juga berimbas kepada para sarjana lulusan di bidang yang terkait dengan industri migas, seperti teknik perminyakan, teknik geofisika, teknik geologi, dan teknik pertambangan. Minimnya ketersediaan lapangan kerja di sektor ini membuat masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan menjadi lebih lama. Jika sebelumnya waktu tunggu lulusan hanya beberapa bulan, sekarang perlu waktu 1-2 tahun untuk mendapatkan pekerjaan. “Saat ini 30 persen dari lulusan universitas masih menunggu untuk mendapatkan pekerjaan mereka,” ujarnya.
Untuk itu, kata Tutuka, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memperluas bidang studi teknik perminyakan menjadi studi energi. Di masa depan, universitas perlu mengajarkan pengelolaan dan pemanfaatan energi di luar migas kepada mahasiswanya.
Rusalida Raguwanti, Ketua Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), mengatakan tingginya harga minyak yang terjadi sebelum 2014 telah meningkatkan jumlah universitas yang membuka program studi ilmu kebumian. Jumlahnya kini mencapai 31 universitas, dengan jumlah mahasiswa baru sebesar 700-800 per tahunnya.
Turunnya kegiatan investasi di sektor migas telah berdampak langsung terhadap masa depan lulusan studi geofisika ini. Survei yang dilakukan HAGI mengenai lapangan pekerjaan yang diminati mahasiswa, sebanyak 50 persen memperlihatkan keinginan mereka untuk bekerja di sektor migas.
Selain itu, mahasiswa juga menunjukkan ketertarikan terhadap profesi peneliti. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa profesi peneliti dapat menjadi jalan keluar untuk menjawab dampak turunnya investasi migas bagi pembukaan lapangan kerja baru.
Lebih lanjut Raguwanti menambahkan, ada sebagian anggota HAGI yang beralih profesi. Sampai saat ini memang belum ada info lengkap peralihan profesi tersebut, tapi ada beberapa yang beralih menjadi konsultan sesuai keahlian mereka. Namun, ada pula beberapa yang alih profesi lain seperti berbisnis online untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. “Ini harusnya menjadi perhatian karena keahlian mereka tidak lagi bisa dioptimalkan,” ujar dia.
Dia berharap pemerintah dapat mendorong kegiatan eksplorasi. Selain itu, kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mampu di Tanah Air juga harus distandardisasi melalui sertifikasi di tengah kemungkinan maraknya pemakaian pekerja asing maupun pekerja lokal karena tuntutan efisiensi perusahaan. “Kami sangat berharap akan ada kolaborasi studi maupun riset dengan para pelaku usaha migas maupun pemangku kepentingan lainnya di industri ini,” tutur dia.
Julianta P. Panjaitan, Ketua Indonesian Society of Petroleum Geologist (ISPG) mengatakan, peyerapan tenaga profesional geologis terus menurun seiring berkurangnya aktivitas di sektor migas. Dari 1.000 lulusan geologis dalam 10 tahun terakhir di Tanah Air, yang terserap di industri hanya 10 persen. “Itu pun yang kerja permanen di bawah 10 persen. Ini merupakan fenomena gunung es,” kata dia.
Menurut dia, setiap perusahaan biasanya membutuhkan dua sampai tiga geologis. Namun karena harus melakukan efisiensi, maka hanya merekrut satu tenaga geologi. Oleh karena itu, dia menilai seluruh pemangku kepentingan perlu melakukan terobosan untuk memberi solusi atas permasalahan ini.
Taufik Aditiyawarman, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI) mengatakan, asosiasi harus membantu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan soft skill. Kemampuan ini dibutukan karena ada kesenjangan antara hard skill dan soft skill yang dimiliki para lulusan.
Selain itu bidang magang mahasiwa teknik perminyakan juga harus diperluas agar pengetahuan mereka tidak hilang. Banyak bidang-bidang penunjang yang bisa menjadi alternatif ladang magang, seperti keuangan, manufaktur, teknis, dan perdagangan. Tenny Wibowo menambahkan, dalam jangka pendek perusahaan masih bisa memberikan kesempatan kepada mahasiswa melalui program magang atau kunjungan praktik lapangan kerja. Namun, dalam jangka panjang perlu solusi lain untuk mengatasi ancaman kurangnya tenaga profesional di sektor migas.
Industri dan asosiasi perlu bekerja sama dalam peningkatan softskill. Selain itu peningkatan investasi sebagai kunci agar industri migas tetap berjalan perlu banyak pihak untuk mewujudkannya. “Bagaimana cara membuat Indonesia menarik dibanding negara lain, sehingga menarik investor datang,” ujar dia.
Tenny menyebutkan untuk menaikkan iklim investasi, investor akan melihat berapa keuntungan yang mereka dapatkan. Selain itu, perlu kemudahan bisnis dengan memangkas perijinan mulai dari memberikan insentif dan mempermudah pembebasan lahan. Faktor lainnya yaitu pentingnya stabilitas politik dan kebijakan.
Hasbi A. Lubis, Board Member of SPE-Java Section, mengatakan fenomena alih profesi ini tidak menguntungkan bagi kelangsungan industri migas nasional di masa depan, lantaran Indonesia berpotensi kehilangan pengalaman pekerja di sektor migas.
“Saat ini kita telah banyak kehilangan ilmu yang dimiliki oleh para pekerja berpengalaman,” kata dia.
Untuk itu, para pemangku kepentingan perlu melihat masalah ini secara lebih komprehensif dan saling berkolaborasi. Salah satunya melalui kegiatan mentoring dari para profesional yang memiliki pengalaman kerja lebih dari 20 tahun di sektor migas.
Gross Split
Sementara terkait skema kontrak migas gross split, Taufik Adityawarman mengatakan, skema itu akan berdampak langsung terhadap tenaga kerja. “Dari sisi sumber daya manusia jelas, makin sedikit aktivitas yang dijalankan maka akan berdampak langsung pada tingkat partisipasi tenaga kerja di industri,” ujarnya.
Menurut Tutuka, sistem tersebut memberikan nilai tambah bagi KKKS karena dapat menciptakan inovasi. Selain itu efisiensi organisasi, perencanaan bisnis juga menjadi lebih efisien. “Tentunya hal itu juga memberi implikasi bagi kebutuhan sumber daya manusia (SDM).”(RJS)