RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Rencana pemerintah menerapkan power wheeling atau pemanfaat jaringan bersama dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) berpotensi menaikkan minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Hal ini menyusul semakin banyak perusahaan global yang memiliki komitmen menggunakan energi terbarukan 100%.
Mutya Yustika, Analis Keuangan Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menuturkan, kurangnya pasokan energi terbarukan di Indonesia menimbulkan risiko kehilangan peluang ekonomi yang besar dan tertinggal dari negara-negara tetangganya. Contohnya, Menteri Investasi Indonesia sempat mengungkapkan keraguan Tesla untuk berinvestasi di Indonesia karena ketergantungan Indonesia terhadap energi bahan bakar fosil.
“Power wheeling di Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi, menciptakan lapangan kerja baru, dan membantu negara memenuhi target dekarbonisasi tanpa membebani anggaran nasional. Ini juga akan membantu PLN fokus pada modernisasi dan peningkatan jaringan untuk memfasilitasi transisi energi,” kata Mutya.
Mekanisme power wheeling memungkinkan produsen listrik swasta (IPP) menjual listrik energi terbarukan langsung ke pelanggan melalui transmisi milik PT PLN (Persero). Mekanisme ini dapat menutup kesenjangan pasokan listrik hijau lantaran lambatnya pengembangan energi terbarukan skala utilitas oleh PLN. Di sisi lain, terdapat urgensi untuk memangkas emisi karbon kelistrikan Indonesia, yang saat ini mencapai lebih dari 682 gram CO2 setara per kilowatt hour (gCO2e/kWh), menjadikan Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi global tertinggi.
Selain itu, mekanisme power wheeling juga didorong oleh lebih dari 430 perusahaan global besar dalam RE100, yang berkomitmen mencapai 60% listrik dari energi terbarukan pada 2030 dan 100% pada 2050. Saat ini terdapat 121 anggota RE100 yang beroperasi di Indonesia. “Namun, perusahaan-perusahaan ini belum memiliki solusi energi terbarukan yang memadai untuk melistriki fasilitas dan rantai pasokan mereka, sehingga menghambat upaya komitmen RE100 dan mandat keberlanjutan perusahaan,” ungkap Mutya.
Dengan implementasi power wheeling, Indonesia juga dapat menangkap peluang investasi baru dari bisnis pusat data (data center). Google memiliki target untuk dapat mencapai emisi nol bersih di semua operasi dan rantai nilainya pada 2030. Microsoft juga berkomitmen untuk menjadi karbon-negatif pada tahun yang sama. Sementara Singapura yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pusat data terkemuka di Asia Tenggara, menghadapi kendala keterbatasan energi terbarukan dan biaya operasi yang lebih tinggi.
“Oleh karena itu, Indonesia perlu menyediakan akses berskala besar ke energi bersih untuk dapat ditawarkan kepada perusahaan seperti Google dan Microsoft sebagai pilihan untuk dapat membangun data center mereka di luar Singapura, yang juga dapat memenuhi tujuan keberlanjutan global mereka,” jelas Mutya.
Indonesia memiliki ekonomi digital yang berkembang pesat dan dapat memainkan peran penting dalam memperluas data center. Ekonomi digital Indonesia memiliki gross merchandise value sebesar US$77 miliar pada 2022 dan diperkirakan akan meningkat menjadi US$220-360 miliar pada 2030, menjadikannya ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.
Harus Transparan
Menurut Mutya, implementasi power wheeling juga akan menguntungkan PLN karena akan membantu menjaga pasokan listriknya, terutama di luar Pulau Jawa dan Bali. Selain itu, PLN juga akan mendapatkan aliran pendapatan tambahan dengan menyewakan fasilitas transmisi kepada perusahaan listrik swasta, melalui biaya wheeling atau wheeling charge.
“Hanya saja, wheeling charge harus ditetapkan secara adil dan transparan untuk menghindari harga yang berlebihan sekaligus menjaga integritas sistem. Hal tersebut penting untuk dapat menarik investor dan juga melindungi PLN sebagai pemilik jaringan transmisi,” kata Mutya.
Meski demikian, penerapan power wheeling masih terhambat perselisihan internal di dalam pemerintah. Ada kekhawatiran power wheeling akan memperparah kelebihan pasokan listrik dan skema take-or-pay PLN dengan IPP, yang menimbulkan risiko keuangan yang signifikan bagi PLN.
“Solusi terhadap permasalahan tersebut seharusnya berupa negosiasi kontrak dengan IPP, efisiensi biaya, dan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara yang tidak efisien yang dikombinasikan dengan formula power wheeling yang tepat,” ungkap Mutya.
Di sisi lain, Indonesia harus bergerak cepat agar tidak tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Pasalnya, dua negara tetangga, yakni Vietnam dan Malaysia telah menerapkan power wheeling dan langsung merasakan manfaatnya.
Vietnam telah menerbitkan Perjanjian Pembelian Tenaga Listrik Langsung (DPPA) yang memfasilitasi penjualan langsung energi terbarukan antara pengembang proyek swasta dan konsumen. Malaysia memperkenalkan Skema Pasokan Energi Terbarukan Perusahaan (CRESS) yang bertujuan untuk meningkatkan akses korporat ke listrik hijau melalui sistem jaringan terbuka.
Usai diumumkannya kebijakan tersebut, perusahaan seperti Alibaba, AWS, dan Google berencana untuk mengeksplorasi peluang bisnis di Vietnam. Sementara Google dan Oracle baru-baru saja mengumumkan investasi di Malaysia yang diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih dari US$9,5 miliar bagi perekonomian negara tersebut sampai dengan 2030. (Rama Julian)
Foto: Dok Ilustrasi PLN