Jakarta, RESOURCESASIA.ID – Amblasnya harga minyak tak jauh dari masalah yang dihadapi dunia saat ini, yaitu pandemi corona. Isolasi dan terbatasnya gerak manusia membuat permintaan emas hitam secara global terpangkas hampir sepertiga, sementara produksi jalan terus.
West Texas Intermediate sudah lama menjadi patokan harga minyak mentah di Amerika Serikat. Harga acuan ini telah melewati booming minyak, perang, dan krisis keuangan. Tapi tak pernah dalam sejarahnya merosot hingga minus US$ 37,63 per barel. Kejadian pada Senin lalu (20/4) itu menjadi rekor terburuk WTI yang mengejutkan pasar komoditas.
Indonesia menggunakan harga minyak acuan bernama Indonesia Crude Pirce (ICP). Patokannya adalah harga minyak jenis Brent. Namun, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menilai Brent pun terus tertekan di bawah US$ 30 per barel. ICP kemungkinan besar bernasib serupa.
Penurunan itu dapat membuat seluruh proyek hulu minyak dan gas bumi (migas) tertunda. “Kebijakan pertama perusahaan yaitu mempertahankan cash dengan menurunkan pengeluaran capex (belanja modal) dan opex (belanja operasional),” kata Moshe. Banyak kontraktor migas diperkirakan memangkas produksi.
Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan penurunan harga minyak mentah WTI dan Brent sejak awal tahun. Pergerakannya cenderung sama, meskipun WTI lebih murah. Harga Brent juga menurun dalam seminggu terakhir.
PT Pertamina telah melakukan sejumlah program prioritas untuk memangkas biaya di sektor hulu. “Pemotongan capex di sektor hulu 25 – 30 %, baik dari sumur eksplorasi dan eksploitasi,” kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat telekonferensi bersama Komisi VII kemarin.
Dengan kondisi pandemi Covid-19, produksi minyak Pertamina di sektor hulu diproyeksi turun sekitar 2 % dari 430 ribu barel per hari (BOPD) menjadi 421 ribu BOPD. Sedangkan produksi gas juga akan ikut berkurang hingga 4 %. Totalnya, produksi sektor hulu Pertamina bakal turun sekitar 3 %.
Perusahaan pelat merah itu juga membutuhkan tambahan tangki penyimpanan minyak. Pasalnya, impor bahan bakar minyak (BBM) terus berjalan di tengah pelemahan konsumsi. Pasokan menjadi terus bertambah.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan perusahaan membutuhkan tambahan tangki. “Untuk storage (tangki penyimpanan) kemungkinan perlu tambahan di atas 150 ribu kiloliter,” ujar Fajriyah.
Nicke mengatakan perusahaan telah berusaha mencari tambahan tangki. Salah satunya menggunakan tangki milik konsumen. Pertamina juga mengantongi izin untuk menggunakan tangki penyimpanan milik kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). “Dengan begitu bisa menambah impor minyak,” ucapnya.
Dalam skenario terburuk, Pertamina memperkirakan dampak penurunan harga minyak dan melemhanya kurs rupiah dapat membuat perusahaan kehilangan pendapatan 44,6 % dari Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2020.
Berdasarkan RKAP, target laba tahun ini US$ 2,2 miliar dan pendapatan US$ 58,33 miliar. “Total pendapatan kami akan turun pada skenario berat sebesar 38 %, dan pada skenario sangat berat menjadi 45 %,” kata Nicke.
Penerimaan negara pada tahun ini pun diprediksi semakin sulit mencapai target, terutama terkait perpajakan. Pajak ekspor minyak berpotensi anjlok. Di sisi lain, penurunan harga minyak juga akan berpengaruh pada belanja subsidi pemerintah. “Subsidi BBM kemungkinan turun bahkan nihil, tergantung asumsi kurs,” ucap Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual.
Penurunann dari sisi penerimaan diperkirakan lebih besar daripada pengeluaran pemerintah. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kemungkinan bertambah besar. Pada akhirnya, kejatuhan harga miyak akan menambah beban ekonomi Indonesia.
Pengamat ekonomi dan dosen Perbanas Institut Piter Abdullah mengatakan banyak komoditas Indonesia yang akan ikut terseret. “Yang pasti, karet. Dan tentunya berdampak pada perekonomian Sumatera yang masih banyak perkebunan karet,” ucapny seperti dikutip katadata
Penurunan komoditas juga membuat ekspor dalam negeri terpukul. Ditambah dengan ICP yang turun, ia memperkirakan defisit APBN melebar. Dalam APBN 2020, ICP dipatok US$ 63 per barel, sedangkan kurs Rp 14.400 per dolar AS.
Melebarnya defisit anggaran sebenarnya sudah diantisipasi pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020. Di tengah penanganan virus corona, defisit anggaran boleh melampaui batas maksimalnya di 3 %. Tahun ini defisit diperkirakan mencapai 5,07 %.
Namun, konsekuensi naiknya deifist adalah bertambahnya utang pemerintah. “Tapi dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB (produk domestik bruto) yang masih di kisaran 30 % sebenarnya tidak terlalu berbahaya,” kata Piter.
Pelebaran defisit hingga 10 % hanya menambah rasio utang pemerintah dari 30 % menjadi 35 % sampai 40 % terhadap PDB. Angka ini masih jauh dari batas yang maksimal yang diatur pemerintah, yaitu 60 % dari PDB.
Photo : google image