RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Di negeri ini, ESG—Environmental, Social, and Governance—tiba-tiba jadi idola. Perusahaan berlomba-lomba memamerkan jargon ini, seolah ESG adalah mantra yang bisa secara seketika menghapus dosa bisnis mereka. Polusi? ESG jawabannya. Ketimpangan sosial? ESG solusinya. Karyawan yang lembur tanpa upah layak? ESG juga, tentu saja. Meskipun jawaban atau solusi itu kadang hanya berupa poster hijau yang terpajang di dinding kantor. Mirip pupur di wajah yang penuh jerawat.
Padahal, sesungguhnya para pakar itu sudah lama mengingatkan bahwa ESG itu hanyalah pos awal dari perjalanan pendakian gunung berkelanjutan menuju puncak investasi berdampak atau impact investing. Lebih dasar lagi, yang tersedia buat mereka yang tak suka naik gunung adalah finance as usual, alias praktik keuangan seperti yang kita saksikan sekarang. Sungguhpun begitu, di sini, ESG diperlakukan seperti sudah puncak gunung. Kenapa repot-repot mendaki lebih tinggi, kalau berswafoto di dasar gunung saja sudah cukup bikin viral?
Mari kita telusuri pos-pos pendakian itu. Dataran di bawah gunung adalah keuangan tradisional. Di sini orang-orang melakukan investasi atau pembiayaan untuk mencari cuan tanpa peduli dengan dampak dari investasi atau pembiayaan itu. Mereka memang berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu memang ternak uang, dan dari mana ‘rumput’-nya, apakah bakal mati terinjak-injak, atau habis dimakan, itu bukan urusan mereka. Hanya saja, itu bisa terjadi ketika memang hanya berpikir jangka pendek, dan soal dampak investasi dan pembiayaan itu tak diatur regulasi. Pada kenyataannya, regulasi semakin kuat.
Tidak mengherankan kalau sejak dulu ada orang-orang yang sudah memikirkan bahwa seharusnya investasi atau pembiayaan dari duit mereka seharusnya tak bikin dampak negatif. Ini adalah pos pertama kalau pendakian gunung keuangan berkelanjutan hendak dilakukan. Tak sudi kalau duit dipakai untuk meracuni paru-paru dan pembuluh darah? Jangan inves atau membiayai perusahaan rokok. Tak ingin duit dipakai untuk sesuatu yang diharamkan oleh Islam? Jangan inves atau membiayai perusahaan miras. Juga, jangan taruh duit di perusahaan yang jelas-jelas merusak lingkungan lewat proses produksi dan produknya.
Itu baru pos pertama dari SRI (Socially Responsible Investing): uang dihindarkan dari sektor-sektor “dosa besar” seperti tembakau, alkohol, alat perang, atau sekarang juga dimasukkan ke dalamnya batubara. Masuk di dalam kategori SRI juga, tetapi bisa kita sebut sebagai pos kedua, adalah apa yang sekarang disebut ESG, yang katanya lebih canggih.
Perusahaan menghitung emisi karbon, memeriksa inklusi gender, dan memastikan tata kelola bebas korupsi. Buat banyak orang, ESG adalah “seni penampilan yang bertanggung jawab sambil tetap cuan.” Tetapi persis di situlah masalahnya. ESG ini tujuan utamanya tetaplah soal cuan.
Sementara tiga huruf yang disebut itu hanyalah cara agar investor dan bank bisa ber-cuan-ria. Maka, isu-isu yang masuk ke dalam kategori E, S dan G hanyalah sebagian kecil saja daripada yang dibayangkan orang, yaitu yang jelas urusannya sama peluang cuan. Bila tidak jelas, ya tak perlu dipertimbangkan, atau capek-capek diintegrasikan.
Tapi di atas ESG, walau masih ada dalam kategori SRI, ada yang lebih serius: thematic investing. Di pos pendakian ini, uang benar-benar diarahkan ke projek yang nyata mendatangkan manfaat, seperti energi terbarukan, teknologi daur ulang, atau aplikasi kesehatan. Kalau di pos pertama tadi isinya adalah penghindaran mudarat, di pos ketiga ini logikanya adalah pemilihan manfaat. Sama-masa menapis, tetapi yang pertama penapisannya negatif, sementara yang ketiga ini menapis secara positif. Orang-orang yang ingin duitnya dipakai untuk membesarkan manfaat dari sektor bisnis tertentu kepada pemangku kepentingannya, tetapi tetap ingin mendapatkan cuan yang setara dengan rerata pasar, perlu naik ke pos ini.
Jadi, konsep yang penting diingat di sini adalah motivasi. Di tiga pos SRI itu, motivasi mendapatkan cuan yang setara dengan rerata pasar, kalau bukan malah lebih tinggi, adalah hal yang benar-benar melekat. Orang-orang tak mau berinvestasi di sektor atau perusahaan yang mereka pikir buruk; mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola dalam keputusan; atau sengaja memilih sektor atau perusahaan yang mereka pikir baik itu cuma soal caranya. Tuannya tetaplah cuan.
Pos keempat dari keuangan berkelanjutan tak banyak disebutkan sebetulnya. Tetapi beberapa pakar menyebutkan bahwa kalau di SRI itu sebetulnya masih mengedepankan kepentingan investor dan bank, alias pemilik modal, di pos ini ada kesadaran bahwa seharusnya yang diuntungkan secara adil itu adalah seluruh pemangku kepentingan yang terlibat di dalam bisnis. Jadi, pos ini adalah hasil perkawinan antara keuangan berkelanjutan dengan Kapitalisme Pemangku Kepentingan—yang mungkin namanya adalah stakeholder investing. Hasilnya, bukan cuma investor dan bank yang perlu dipastikan cuan, melainkan juga seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat setempat, pemasok, dan karyawan.
Sementara, di pos berikutnya, pos kelima yang ada di puncak gunung, berdirilah impact investing. Ini bukan soal terlihat baik, tapi benar-benar praktik baik. Investasi yang sengaja dibuat untuk menghasilkan dampak nyata—air bersih di desa, pengurangan karbon, atau keluarga yang keluar dari kemiskinan—dan yang memilihnya bahkan bersedia untuk menerima cuan yang ada di bawah rerata pasar. Mereka bersedia mengurangi jatahnya bila para penerima manfaat investasi dan pembiayaannya bisa menerima manfaat lebih tinggi, atau bisa menjangkau penerima manfaat yang lebih banyak.
So, cita-cita besar para pakar dan praktisi yang bergelut lama di sini sebetulnya adalah tiba di puncak gunung keuangan berkelanjutan. Mimpinya ya sustainable finance yang benar-benar mengutamakan sustainability, bukan mengedepankan finance. Keberlanjutan itu tujuannya, dan keuangan itu adalah caranya. Sayangnya, kita interupsi cita-cita itu hanya di pos awal, dengan sambutan yang gegap-gempita, sambil melupakan masih ada tiga pos lagi yang sebetulnya harus kita daki kalau keberlanjutan benar-benar mau kita gapai.
Masalahnya, dua pos terakhir, stakeholder investing itu rumit, dan impact investing juga butuh niat tulus. Siapa sih yang mau benar-benar menghitung dampak kepada seluruh pemangku kepentingan, apalagi terhadap dunia, kalau ‘laporan ESG’ saja sudah cukup untuk pamer? Lagipula, di negeri ini, kita lebih suka kemasan daripada isi. Cukup laporkan kegiatan—tak sampai pula kinerja—ESG, tambahkan foto anggota direksi sedang menanam pohon, dan klaim berkelanjutan pun ‘sah’.
Begitulah kita sekarang. ESG tetap jadi primadona, sebuah drama indah yang baru naik sedikit di atas gerbang pendakian—itupun belum tentu benar sesuai ekspektasi globalnya. Lalu, bagaimana dengan pos pendakian thematic investing, stakeholder investing, dan impact investing? Agaknya itu terlalu rumit buat kebanyakan di antara kita. Biarkan sajalah pos-pos itu teronggok tanpa pengunjung di atas sana. Kita cukup bersantai di dasar sambil ngopi bareng Pak Kuncen, juga sambil terus memuji diri sendiri.
Penulis : Jalal dan Zainal Abidin