RESOURCESASIA.ID, GLASGOW – Respon terhadap layanan Renewable Energy Certificates (REC) yang diluncurkan PT PLN (Persero) pada November 2020 sangat positif. PLN pun mematangkan kerja sama dengan Clean Energy Investment Accelerator (CEIA) untuk dapat menciptakan transformasi pemanfaatan energi terbarukan.
Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan antara Global Energy Director World Resources Institute (WRI), Jennifer Layke, selaku perwakilan CEIA dan Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Syofvi Roekman dalam ajang COP26 yang berlangsung di Glasgow. PLN dan CEIA menegaskan kelanjutan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang sudah dilakukan pada 28 Oktober 2021 di Jakarta.
Direktur Manajemen Sumber Daya Manusia PLN Syofvi Roekman memaparkan REC yang merupakan produk kolaborasi PLN dan CEIA mendapatkan respon positif dari sektor komersial, industri, dan individu. Melalui kelanjutan kerja sama ini, PLN berharap dapat menghasilkan lebih banyak produk energi ramah lingkungan untuk konsumen dan mencapai target pengurangan emisi karbon pada 2030.
Sertifikasi Renewable Energy Certificate (REC) merupakan layanan PLN berupa pengakuan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). REC ini merupakan bukti kepemilikan sertifikat standar internasional atas produksi tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan.
Dia mencontohkan, generasi pertama dari REC sebesar 140 Mega Watt (MW) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang, telah habis diserap 28 perusahaan. Bahkan, saat ini sudah ada 50 perusahaan mengantre untuk bisa membeli REC selanjutnya.
“Melihat respon dari pasar, tentunya PLN harus mempercepat pembangunan pembangkit EBT. Oleh karena itu, pada RUPTL 2021-2030 kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sebesar 20,923 Mega Watt (MW) pada 2030 untuk dapat memenuhi permintaan yang sudah masuk,” papar Syovfi, saat mengisi acara ‘Catalyzing Changes: Transitioning Indonesia’s State-owned Utility toward Renewable Energy’ di SDG7 Pavilion COP26, Selasa (2/10/2021).
Melalui kerja sama ini juga akan dilakukan asistensi teknis untuk mengembangkan layanan-layanan inovatif, seperti green tariff sebagai salah satu opsi pengadaan energi terbarukan untuk korporasi atau peluang PLN untuk menjadi local issuer atau entitas lokal yang berhak menerbitkan REC sesuai standar yang telah ditetapkan dan diakui secara internasional. Sebagai local issuer, PLN diharapkan dapat menjadi pendaftar utama dalam menerbitkan REC secara nasional.
Selain produk yang memberikan pilihan pembelian listrik terbarukan kepada pelanggan ini, PLN juga berencana untuk mengeksplorasi inovasi baru bersama dengan CEIA sebagai bagian dari akselerasi pengurangan karbon di Indonesia. Kerja sama ini diharapkan juga dapat mengakselerasi pengembangan kapasitas, diseminasi informasi terkait penelitian, dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk memfasilitasi permintaan konsumen listrik.
Sebagai perusahaan listrik nasional, Syovfi menambahkan, PLN telah menyatakan ikut berperan aktif dalam mengurangi emisi karbon. Melalui kerja sama dengan CEIA, PLN akan mengakselerasi pengembangan kapasitas, diseminasi informasi terkait penelitian, dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk memfasilitasi permintaan konsumen listrik semakin cepat terealisasi.
“Selain mendukung PLN, MoU tersebut mencakup komitmen dan dukungan dari kedua belah pihak untuk mengembangkan lebih banyak produk energi hijau bagi konsumen. Dalam MoU ini, CEIA dan PLN juga akan menjajaki kemungkinan solusi untuk mengurangi emisi di sektor komersial dan industri,” kata Syofvi.
Kerja sama ini juga semakin mempertegas komitmen PLN bersama pemerintah Indonesia, untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional. Sebagai langkah awal, PLN optimistis dapat berkontribusi memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pada 2030 melalui beberapa langkah strategis.
“PLN sendiri memiliki target untuk mencapai karbon netral pada 2060. Sebagai langkah awal, PLN berkomitmen untuk berkontribusi memenuhi target NDC Indonesia pada tahun 2030 melalui beberapa langkah strategis. Kolaborasi dengan CEIA merupakan langkah penting untuk mempercepat realisasi target kami,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Global Energy Director WRI Jennifer Layke menyebutkan, kerja sama ini diperlukan untuk mencapai target bauran Indonesia sebanyak 23 persen pada 2025. Seiring dengan upaya negara untuk pulih dari dampak pandemi, ada peluang untuk mendorong tujuan pembangunan berkelanjutan dan mencapai ekonomi energi bersih yang lebih adil.
“PLN akan menjadi kunci untuk kemajuan ini. Selama dua tahun terakhir, melalui Clean Energy Investment Accelerator (CEIA), WRI dan Allotrope Partners, serta NREL telah mendukung PLN dalam pengembangan produk energi terbarukan, salah satunya adalah REC,” ucapnya.
Jennifer sadar jika tantangan yang dihadapi oleh pengembangan EBT di sektor ketenagalistrikan bukan hanya tentang pemilihan bahan bakar saja. Masih ada tantangan bagaimana produk EBT yang telah diproduksi ini bisa diserap oleh pasar.
“Saya menyambut positif dengan apa yang terjadi di PLN. Bagaimana permintaan pasar, perkembangan teknologi, dan aset PLN yang terdiversifikasi ke EBT menjadi satu sistem dapat diterima. Saya rasa masa depan PLN akan sangat cerah ke depan,” imbuhnya.
Seiring dengan semakin rendah biaya EBT, serta banyak pilihan teknologinya yang tersedia, tentunya ada kesempatan untuk membangun sesuatu yang berbeda dalam menghadapi disrupsi akibat pemanasan global. PLN harus mempersiapkan perpindahan teknologi yang akan terjadi seiring waktu.
“Dengan adanya kemitraan baru yang akan berlangsung selama dua tahun ke depan, kami berharap ini akan mendorong lebih banyak solusi listrik terbarukan. Kami percaya bahwa transisi energi tidak dapat dicapai tanpa kolaborasi, maka kami akan terus mendukung PLN agar dapat mempercepat langkah Indonesia menuju masa depan energi terbarukan,” ucap Jennifer.(RAMA)
FOTO: DOK PLN