RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Pemerintah menyetujui paket insentif fiskal yang dibutuhkan oleh industri hulu migas untuk meningkatkan produksi dan cadangan migas. Paket insentif dan fasilitas perpajakan sebagai implementasi PP no 27 tahun 2017 pertama kali diberikan kepada operator Blok Mahakam, PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Dengan adanya pemberian insentif dan fasilitas perpajakan tersebut, maka 6 (enam) dari 9 (sembilan) jenis insentif yang diminta industri hulu migas, sudah mendapat persetujuan pemerintah.
Pemberian paket insentif fiskal, diumumkan pemerintah pada acara Oil & Gas Investment Day di Jakarta pada Rabu, (17/6). Dengan kebijakan ini, PHM akan mengeksekusi proyek-proyek pengembangan yang tertunda, memaksimalkan pemulihan sumber daya, dan menjamin kelangsungan bisnis dan operasi Blok Mahakam hingga akhir kontrak pada tahun 2037.
Secara rinci, paket Insentif dan fasilitas perpajakan untuk WK Mahakam diberikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP 27/2017 dan berupa relaksasi First Trance Petroleum (FTP), kredit investasi, percepatan depresiasi, fasilitas pembebasan PPN dan pengurangan PBB untuk bawah permukaan dan biaya pemanfaatan BMN. Ketentuan fiskal baru telah dituangkan dalam amandemen PSC Mahakam yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2021.
“Selanjutnya SKK Migas bersama dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan melanjutkan pembahasan rumusan opsi-opsi kebijakan fiskal yang lebih kompetitif dan menarik untuk meningkatkan iklim investasi hulu migas sebagai upaya mendukung capaian target penigkatan produksi 1 juta bopd dan 12 bscfd pada tahun 2030. Dengan demikian diharapkan pemberian paket stimulus tersebut dapat merevitalisasi investasi pada kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas serta meningkatkan cadangan dan produksi minyak bumi nasional,” kata Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto di Jakarta, pada acara tersebut.
SKK Migas sejak tahun lalu, telah mengusulkan 9 (sembilan) paket stimulus yang diformulasikan untuk meningkatkan iklim investasi hulu migas Indonesia. “Sudah ada 6 paket stimulus yang disetujui oleh pemerintah RI. Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah yang telah menujukkan perhatian dan dukungannya terhadap industri hulu migas melalui pemberian paket stilmulus tersebut,” terang Dwi.
Enam paket stimulus yang sudah mendapat persetujuan adalah:
1.Penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau Abandonment and Site Restoration (ASR).
2.Pengecualian PPN LNG melalui penerbitan PP 48/2020 tentang impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dikecualikan dari Kewajiban PPN.
3.Pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara yang akan digunakan untuk kegiatan hulu migas.
4.Penundaan atau pengurangan hingga 100 persen pajak-pajak tidak langsung.
5.Penerapan volume gas yang dapat dijual dengan harga market untuk semua skema di atas take or pay dan ‘Daily Contract Quantity’ (DCQ).
6.Penerapan insentif investasi, di antaranya depresiasi dipercepat, perubahan split dan DMO full price.
Sedangkan 3 (tiga) insentif yang saat ini sedang dalam pembahasan, adalah :
1.Tax holiday untuk pajak penghasilan di semua wilayah kerja migas
2.Penyesuaian biaya pemanfaatan Kilang LNG Badak sebesar 0,22 dolar AS per MMBTU
3.Dukungan dari kementerian yang membina industri pendukung hulu migas (industri baja, rig, jasa dan service) terhadap pembahasan pajak bagi usaha penunjang kegiatan hulu migas
Menurut Woodmac, IHS dan Rystad, Indonesia masih dianggap sebagai tujuan yang menarik untuk investasi. Daya tarik tersebut terletak pada prospek sumber daya migas yang masih potensial. Sedangkan pada sistem fiskal dan risiko investasi minyak dan gas, masih terdapat beberapa ruang untuk perbaikan.
“Kami berharap momentum hari ini merupakan saat yang tepat dalam pemberian insentif lainnya yang mengarah kepada peningkatan iklim investasi Indonesia yang semakin menarik bagi investor, termasuk menjadi momentum bagi International Oil Company (IOC) untuk kembali menempatkan Indonesia sebagai tujuan portofolio investasinya,” lanjut Dwi.
Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan di bidang ekonomi yang diprediksi akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-4 di dunia pada tahun 2030. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut, Indonesia membutuhkan lebih banyak energi dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), konsumsi minyak Indonesia akan meningkat lebih dari 130% dari kondisi saat ini sebesar 1,6 juta barel minyak per hari (BOPD) menjadi 3,9 juta BOPD pada tahun 2050. Sedangkan untuk konsumsi gas, juga akan meningkat lebih dari 290% dari sekitar 6 miliar standar kaki kubik gas menjadi sekitar 26 miliar standar kaki kubik gas pada tahun 2050.
“Transisi energi ke depan akan meningkatkan peran dari energi terbarukan, namun demikian minyak dan gas bumi masih tetap memainkan peran penting di masa depan,” pungkas Dwi. (RA)
FOTO: DOK SKK MIGAS