RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Pengembangan bioetanol berpotensi menciptakan dampak positif yang luar biasa, mulai dari hulu ke hilir. Hal ini disampaikan oleh Direktur Manajemen Risiko Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) Iin Febrian dalam diskusi panel di Green Initiative Conference yang diselenggarakan oleh Kumparan pada Rabu (25/9).
Sektor transportasi adalah salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Untuk itu penggunaan bahan bakar minyak ramah lingkungan menjadi salah satu solusi terbaik untuk menurunkan emisi. Indonesia telah sukses dengan B35, campuran bahan bakar nabati (BBN) berbasis kelapa sawit, yaitu fatty acid methyl esters (FAME) dengan kadar 35 persen. Dan saat ini pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) mendorong pengembangan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran untuk bahan bakar berjenis gasoline. Akhir tahun lalu PT Pertamina Patra Niaga telah meluncurkan Pertamax Green 95, bahan bakar Pertamax dengan campuran bioetanol sebesar 5 persen.
Tidak saja mendukung target enhanced nationally determined contribution (ENDC) Indonesia, pengembangan bioetanol sebagai BBN berpotensi menciptakan nilai yang besar.
“Dari mulai mengembangkan bahan baku seperti tebu, jagung, sorgum, dan jenis tanaman lainnya sampai dengan pendistribusiannya ke Masyarakat, pengembangan bioetanol bisa menciptakan nilai yang besar, salah satunya adalah membuka lapangan kerja lebih luas,” ujar Iin.
BACA JUGA:
Pertamina NRE Group dan Genvia Teken Kerja Sama Teknologi Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan
Pertamina NRE diberikan amanah oleh induk usahanya, PT Pertamina (Persero), untuk mengembangkan bisnis bioetanol sebagai bahan baku Pertamax Green. Pertamina NRE telah memiliki strategi jangka pendek, menengah, hingga panjang yang dimulai dari tahun 2024 hingga tahun 2035 dalam pengembangan bioetanol.
“Sebagai bagian dari strategi jangka pendek, kami telah menandatangani perjanjian dengan PT Sinergi Gula Nusantara untuk membangun pabrik bioetanol baru dengan bahan baku molase di Glenmore, Banyuwangi, dengan kapasitas 30 ribu kiloliter per tahun,” tambah Iin.
Kapasitas produksi etanol nasional saat ini mencapai sekitar 180 ribu kiloliter per tahun, sedangkan kebutuhan etanol 5 persen (E5) saat ini mencapai 1,9 juta kiloliter per tahun dan akan berlipat ganda apabila diterapkan E10. Dalam jangka pendek sampai dengan panjang, Pertamina NRE masih akan menargetkan pembangunan pabrik bioetanol baru dengan harapan akan memperkecil gap antara suplai dan kebutuhan nasional.
Tanah di Indonesia memiliki potensi untuk ditanami dengan beberapa jenis tanaman energi yang berpotensi menjadi bahan baku bioetanol. Dengan mendiversifikasi jenis bahan baku, maka diharapkan tidak akan mengganggu kebutuhan tebu nasional untuk pangan. Pertamina saat ini tengah melakukan studi untuk mengembangkan beberapa bahan baku bioetanol selain dari tebu, antara lain sorgum (sorghum), nipah (nypa fruticans), dan tandan kosong kelapa sawit (empty fruit bunch).
Pertamina NRE berkomitmen kuat untuk mengembangkan energi bersih sebagai bentuk dukungan terhadap transisi energi untuk mencapai aspirasi pemerintah net zero emission selambat-lambatnya tahun 2060.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pengembangan bioetanol sehingga bisa menjadi salah satu solusi energi terbarukan.
“Bioetanol diproduksi dari bahan-bahan organik yang menawarkan potensi besar untuk masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” ujar Fadjar. (Rama Julian)
Foto: Dok PNRE