RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menilai reformasi kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia di sektor energi baru terbarukan (EBT) tidak menguntungkan investor dan implementasinya kurang baik. Padahal, pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kepercayaan dan menggaet investasi di hingga US$ 146 miliar.
Hal tersebut terungkap dalam laporan terbaru IEEFA Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential, yang di terima redaksi, Selasa (22/7/2024).
Saat ini, Pemerintah membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta untuk mencapai target iklim tahun 2030. Namun, menurut laporan IEEFA, persyaratan kontrak yang sangat menuntut untuk energi surya dan angin membuat biaya meningkat dan investor swasta enggan menanamkan modal.
“Investor swasta akan tertarik masuk ke pasar energi terbarukan Indonesia jika ada prosedur pengadaan yang jelas dan ringkas, sekaligus pelaksanaan regulasi yang konsisten dan dapat dipercaya,” kata penulis dan Analis Keuangan Energi IEEFA, Mutya Yustika.
Untuk itu, IEEFA merekomendasikan agar pemerintah menetapkan prosedur pengadaan proyek energi terbarukan yang transparan dan jelas, yang tentunya didukung oleh syarat dan ketentuan yang seimbang secara komersial. Langkah ini akan memberikan kepastian bagi investor swasta potensial dan memastikan Indonesia mampu mencapai target dekarbonisasi.
Perbaikan ini diperlukan lantaran investasi energi terbarukan di Indonesia cenderung stagnan dalam tujuh tahun terakhir, meski memiliki sumber daya yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Pada tahun 2023, Indonesia membukukan investasi US$ 1,5 miliar yang setara tambahan kapasitas energi terbarukan 574 megawatt (MW). Namun, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang telah memiliki kapasitas energi surya dan angin cukup besar. Sebagai contoh, Vietnam telah memiliki kapasitas energi surya hingga 13.035 MW dan angin 6.466 MW.
Hambatan Kebijakan
Laporan IEEFA mengidentifikasi sejumlah hambatan yang menurunkan minat investor membiayai proyek energi terbarukan di Indonesia.
Pertama, kewajiban bekerja sama dengan PT PLN (Persero) dan anak usahanya dengan kepemilikan saham mayoritas 51 persen. Kebijakan ini menjadikan PLN sebagai pemilik de facto proyek, sehingga menurunkan minat investor swasta. Sebagai pembeli satu-satunya listrik energi terbarukan, peran ganda PLN sebagai pemegang saham dan pembeli menciptakan konflik kepentingan.
Kedua, sejak tahun 2017, pemerintah melarang pengalihan kepemilikan saham proyek energi terbarukan sebelum proyek beroperasi secara komersial (commercial on date/COD). Kebijakan ini membatasi kemampuan investor swasta untuk memperoleh tambahan modal dan keahlian teknis selama proses pembangunan proyek.
Ketiga, untuk meringankan beban keuangan PLN, pemerintah menetapkan skema ‘delivery-or-pay’ dengan volume energi terkontrak yang harus diproduksi proyek energi terbarukan setiap tahunnya.
“Dengan skema ini, investor swasta akan dikenai penalti jika tidak berhasil memenuhi persyaratan ketersediaan atau kapasitas energi yang harus dihasilkan,” tutur Mutya.
Keeempat, meski banyak desakan untuk penerapan feed in tariff, pemerintah justru menetapkan skema tarif batas atas (ceiling tariff) untuk energi terbarukan. Dampaknya, proses lelang akan memilih produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yang menawarkan tarif terendah, sehingga sulit bagi investor untuk mencapai target laba. Hal ini membuat lelang proyek baru menjadi tidak menarik.
Hambatan lainnya, tidak ada transparansi dalam proses lelang proyek energi terbarukan yang digelar PLN, yakni melalui penunjukkan langsung dan pemilihan langsung.
Mengacu Peraturan Presiden No 112 Tahun 2022, proses lelang seharusnya berlangsung selama 90 hari untuk penunjukkan langsung dan 180 hari untuk pemilihan langsung. Namun, tidak ada jaminan proses lelang akan berlangsung sesuai ketentuan, bahkan bisa ditunda atau dibatalkan tanpa penjelasan. Investor yang telah mengeluarkan biaya untuk persiapan lelang, kajian awal, jaminan penawaran (bid bond), dan dokumen legal, harus mencatatnya sebagai pengeluaran yang tidak bisa diperoleh kembali (sunk cost).
“Negosiasi one on one, linimasa yang tidak jelas, dan proyek-proyek yang tidak disetujui melemahkan proses pengadaan, yang berujung pada menurunkan minat investor,” Yustika menjelaskan. (RA)
Foto: Dok PLN/ilustrasi