RESOURCESASIA.ID, JAKARTA – ReforMiner Institute menilai rencana Pemerintah untuk memperluas kebijakan harga gas bumi murah perlu dilakukan secara hati-hati. Alasannya, harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif bagi pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri.
Dalam Rapat Terbatas (Ratas) yang dilaksanakan pada 31 Juli 2023, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mengevaluasi biaya produksi gas bumi agar harga jual ke industri menjadi kompetitif, terutama dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Perintah tersebut merupakan bagian dari rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah yang telah diimplementasikan sejak tahun 2016 lalu.
Namun ReforMiner menilai, rencana perluasan kebijakan harga gas bumi murah itu perlu dilakukan secara hati-hati. Selain memberikan manfaat ekonomi terhadap industri pengguna gas, biaya implementasi untuk kebijakan harga gas bumi murah cukup besar.
“Studi ReforMiner menemukan, sampai saat ini biaya untuk implementasi kebijakan harga gas bumi murah tercatat masih lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi yang telah diperoleh,” Kata Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, dalam keterangan tertulis, Rabu (2/8).
Menurut Komaidi, studi ReforMiner juga menemukan bahwa kebijakan harga gas bumi murah belum tentu dapat secara otomatis menurunkan biaya produksi dan meningkatkan daya saing industri pengguna gas. Hal itu karena biaya produksi dan daya saing industri pengguna gas tidak hanya ditentukan oleh harga gas, tetapi ditentukan oleh sejumlah faktor.
Apalagi, level harga atau tinggi-rendahnya harga gas di Indonesia akan terkait dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pengusahaan gas bumi. Semakin besar PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi akan semakin mahal. Sebaliknya, semakin kecil PNBP gas bumi yang diterima, maka harga gas bumi dapat semakin murah.
Tinggi-rendahnya harga gas juga akan ditentukan oleh keekonomian lapangan. Semakin kecil skala gas yang diproduksikan, maka biaya produksi dan harga gas akan semakin mahal.
“Lokasi lapangan menentukan besaran biaya produksi gas. Produksi gas di wilayah remot atau di laut dalam akan memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan produksi gas di onshore dan pada wilayah yang lebih terjangkau,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, kondisi pasar dan ketersediaan infrastruktur gas juga akan menentukan tinggi-rendahnya harga gas. Kondisi pasar gas dengan pembeli yang terbatas dan volume pembelian yang kecil, akan menyebabkan harga gas menjadi lebih mahal. Keterbatasan ketersediaan infrastruktur gas juga dapat menyebabkan keekonomian proyek dan harga gas menjadi lebih mahal.
“Tinggi-rendahnya harga gas akan memberikan sinyal mengenai keberpihakan pemerintah terhadap iklim investasi hulu gas. Harga gas yang ditekan terlalu rendah dapat menyebabkan kegiatan usaha hulu gas tidak cukup menarik bagi produsen dan dapat menghambat pengembangan lapangan gas seperti yang telah terjadi pada proyek Blok Natuna, IDD, dan Blok Masela,” ujar Komaidi.
Lebih lanjut, dia menegaskan harga gas pada konsumen akhir yang ditekan cukup rendah dapat memberikan sinyal negatif dan disinsentif untuk pengembangan infrastruktur gas di dalam negeri. Harga gas yang rendah dapat menyebabkan insentif untuk usaha penyediaan infrastruktur gas di dalam negeri menjadi tidak cukup menarik.
Komaidi memberi contoh pengembangan proyek infrastruktur pipa gas Cirebon-Semarang (CISEM) tahap 1 dan 2. Pada akhirnya, proyek ini harus dilaksanakan sendiri oleh pemerintah melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dengan menggunakan skema multi years contract (MYC). Ini mengindikasikan bahwa usaha penyediaan infrastruktur gas belum cukup menarik bagi para pelaku usaha.
Dia pun menyimpulkan definisi mengenai harga gas bumi murah tidak dapat hanya sekedar menggunakan acuan harga nominal yang ditetapkan US$ 6 per MMBTU di plant gate. Karena, penetapan harga gas bumi pada dasarnya harus mempertimbangkan kepentingan industri hulu gas, usaha penyediaan infrastruktur gas, usaha niaga gas, dan kepentingan industri pengguna gas.
“Berdasarkan sejumlah poin yang telah disampaikan itu, tinggi dan rendahnya harga gas dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Karena itu, tidak hanya terkait dengan rencana perluasannya, tetapi implementasi kebijakan harga gas murah yang telah dilakukan sejak tahun 2016 kiranya perlu ditinjau ulang,” ujar Komaidi. (Rama)
Foto: Dok Radio Idola Semarang