Resourcesasia.id, Ciputat – Industri minyak dan gas bumi (migas) berperan penting dan berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Jika tidak ada sektor ini, Indonesia terancam kehilangan investasi sebesar Rp 300 triliun setiap tahun. Angka ini hampir setengah dari realisasi investasi yang tercatat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sepanjang 2016 yang mencapai Rp 612,8 triliun.
Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro mengatakan, angka tersebut mengacu pada besaran realisasi investasi migas tertinggi sejak enam tahun lalu, yakni mencapai US$ 22,37 pada 2013 lalu. Namun pencapaian itu terus menurun hingga tahun lalu sebesar US$20,42 miliar, pada seminar nasional Energi Berkeadilan di Universitas Islam Negeri (UIN) SyariF Hiyatullah Jakarta, Kamis (18/5).
Selain itu, tidak adanya sektor migas juga membuat kehilangan penerimaan negara dari pajak dan nonpajak sekitar Rp 90 triliun hingga Rp 350 triliun, tergantung harga minyak atau gas bumi. Pemerintah juga harus merogoh kocek untuk mengimpor migas sekitar US$ 50 miliar per tahun, atau sekitar 42 persen dari total cadangan devisa. Jumlah ini belum termasuk impor elpiji, pelumas dan produk turunan lain.
Namun, kalaupun pemerintah memiliki dana, belum tentu juga mendapatkan sumber energi dari impor karena harus bersaing dengan negara lain. “Kami punya saingan seperti Jepang, India, Cina yang negaranya juga tidak punya pasokan energi yang besar,” kata dia.
Dampak lainnya adalah penciptaan nilai tambah ekonomi terhadap sektor pendukung dan pengguna migas akan berkurang siginifikan. Padahal sektor pendukung seperti industri penunjang migas dapat berkontribusi hingga 62,67 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Sementara kontribusi sektor pengguna hulu migas seperti industri pupuk, petrokimia atau kilang mencapai 25,45 persen.
Ada juga dampak ke tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Setiap Rp 1 triliun investasi hulu dapat menyerap tenaga kerja 13.670 dan dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga dari gaji sebesar Rp473,76 miliar.
Karena itulah, Komaidi meminta pemerintah menaruh perhatian terhadap sektor migas. “Katakanlah Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak ada dalam satu bulan saja, bisa dibayangkan distribusi berhenti total dan terjadi kekacauan nasional,” terangnya.
“Migas masih menjadi faktor dominan dalam menentukan tingkat ekonomi suatu negara, untuk itu mengapa iklim investasi migas dianggap penting. “karena porsi migas dalam bauran energi nasional masih akan tetap dominan, struktur ekonomi Indonesia saat ini lebih padat energi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, penciptaan nilai tambah industri migas khususnya hulu migas terhadap perekonomian nasional sangat besar”, tegas Komaidi.
Seminar yang di hadiri lebih dari 250 peserta dari kalangan mahasiswa, akademisi dan praktisi diprakarsasi oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam yang bekerjasama dengan Forum Jurnalis Independen (FJI).
Lebih lanjut, Komaidi memberikan penjelasan data jika Indonesia tanpa Migas akan kehilangan investasi sekitar 180 – 300 Trilyun Rupiah setiap tahunnya, Kehilangan penerimaan negara (APBN) dari pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sekitar 90 – 350 Trilyun Rupiah (tergantung harga minyak dan gas), Memerlukan devisa impor migas sekitar USD50 milyar/tahun (42 persen cadangan devisa Indonesia), belum termasuk impor LPG, Pelumas dan produk turunan lain. Penciptaan nilai tambah ekonomi terhadap sektor pendukung dan pengguna migas akan berkurang signifikan.
Dalam seminar tersebut juga menghadirkan Bambang Dwi Djanuarto ST, MBA selaku Senior Specialist for External Relations SKK MIGAS, Alih Istik Wahyuni External Relation Comunication PT Pertamina (Persero) Ari Subekti dari Ophir Indonesia dengan moderator Woro windrati Kompas TV. (Gina)
Foto: Resourcesasia.id